Kita sekarang berada pada muqaddimah musim ujian-juga musim hujan. Mungkin sudah menjadi sunnatullaah bahwa setiap musim berganti ada yang menyukainya ada pula yang sebaliknya kesal, galau, dan berbagai macam rasa negatif berkumpul menjadi satu dalam hatinya. Ia bak manusia yang kebingungan berjalan di sebuah labirin berliku yang pekat lagi gelap.
Lihat saja, kalau musim panas sedang memayungi seantero jagat, banyak orang yang mencela dengan berbagai perkataan, menyalahkan matahari mengapa begitu bersemangat menampakkan diri layaknya para model yang berjalan di atas caltwalk dengan percaya dirinya. Tak hanya sampai di situ, kekesalannya mesti dituliskan dalam beberapa kalimat di kolom status di berbagai media sosial yang berisi redaksi tak kalah pedisnya. “Aduh, panasnya dunia!” adalah salah satu contohnya.
Nah, giliran musim hujan tiba, sebagian manusia juga malah mecelah. Boleh jadi ada yang berkata “kok mesti hujan datangnya keroyokan sih, mau keluar nih.” Juga mesti harus dituliskan dalam kolom status di media sosial. Akhirnya, hujan menjadi tersangka. Ia bak teroris yang dibenci oleh datasemen khusus (densus) 88, hingga perlu ditembak mati dengan berbagai perkataan tanpa ampun.
Mencontek itu tidak salah, yang salah ..., Gambar by : Google.com |
Pun dengan musim ujian. Boleh jadi sebagian dari kita sudah melakukan persiapan jauh-jauh hari untuk menghadapi masa-masa ujian ini dengan mantap. Namun, tak dipungkuri juga bahwa sebagian dari kita ada yang mungkin baru memiliki sedikit persiapan bahkan tanpa persiapan sama sekali dengan alasan bahwa kita memiliki banyak agenda di luar kampus. Akhirnya, sebagian dari kita mengeluhkan mengapa mesti ada ujian.
Namun, bagaimanapun keadaannya, ujian adalah sebuah keniscayaan bagaikan kematian yang akan datang menghampiri kita, bersekutu dengan waktu hingga kita mau tak mau harus menghadapinya dengan hati yang berat atau pun ringan. Bukan karena apa-apa, namun kita tak pernah tahu nilai dan kemampuan kita (yang notabene dijadikan acuan perkembangan keilmuan kita dalam sebuah bidang) kalau ujian tidak datang menjadi tamu yang tak diundang.
Begitu pula manusia, Allah memberikan ujian agar Ia meninggikan derajat hambanya karena sanggup bertahan melawati berbagai ujian yang menyesakkan dadanya.
Saudara sekalian, permasalahan yang timbul ialah banyak di antara kita yang mencari cara untuk mengatasi kondisi yang serba sulit ini. “Yang penting dapat nilai A”, katanya. Maka segala cara dan jalan ditempuh tak kenal halal apatah lagi haram. Muncullah kreativitas untuk menghadapi ujian dengan menggunakan pelampung (cacatan tersembunyi untuk ujian). Ada yang menulisnya di secarik kertas dengan berbagai model, bahkan sampai menulisnya di permukaan pahanya atau bagian tubuh lainnya, intinya tersembunyi. Selain cara itu, adapula cara yang mutakhir, modern banget. Yah, tanya Prof. Google. Caranya? Tentu menggunakan telepon genggam yang tersambung dengan internet. Namun, cara yang tak pernah lapuk di makan zaman adalah mencontek ( dari kata dasar sontek bukan contek).
Sontek, mencontek dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti mengutip (tulisan dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak. Cara ini adalah cara yang praktis, mudah, dan tanpa biaya untuk mendapatkan jawaban.
Selain cara di atas, masih banyak cara yang lain, semisal, menjulurkan kepala sedikit untuk melihat pekerjaan teman, bertanya dengan sedikit nada memelas bahkan memaksa dengan perkataan “bukan kawan namanya kalau tidak membantu”, hingga melihat buku dengan sembunyi-sembunyi adalah beberapa jalan yang dijadikan sarana untuk menuntaskan ujian.
Apakah ini dibenarkan? Jawabannya tentu tidak. Butuh dalil? Allah berfirman:
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar” (Al-Baqarah: 9)
Rasulullah saw juga bersabda bahwa:
“Barangsiapa yang menipu kita, maka ia bukan bagian dari kita.” (HR. Muslim)
“Barangsiapa yang melakukan tipu daya ia bukanlah bagian dariku.”
Hadis-hadis di atas adalah dalil umum atas haramnya praktik tipu daya dan ketidakjujuran di berbagai bidang termasuk mencontek. Jadi mencontek itu hukumnya haram. Mencontek adalah perilaku yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab pada saat ujian.
Bayangkan, apakah kita bangga lulus degan nilai A namun diperoleh dengan jalan yang tidak diridhai Allah? Dan kita dengan pongahnya berkata bahwa kita adalah salah satu dari yang terpintar di dalam kelas. Perilaku-perilaku yang sepeti itu hendaknya kita buang dalam kehidupan kita. Boleh jadi, ketika kita menjadi guru, kita akan mendapatkan siswa-siswa kita saling mencontek.
Sebenarnya, bukan mereka sepenuhnya yang salah, namun kita juga turut andil karena hal itu pun pernah kita lakukan. Bayangkan kalau seorang doktor lulus dengan nilai hasil contekan, kira-kira apa yang akan ia lakukan ketika mengobati pasiennya? Oleh karena itu, kita yang telah pernah melakukan aksi korup ini, hendaknya segera bertobat dan menjahui perilaku ini serta berjanji tidak akan melakukannya lagi—semoga Allah mengampuni kita.
Ada beberapa tips yang bisa dijadikan masukan untuk menghindari perilaku ketagihan mencontek, di antaranya:
Bertakwah kepada Allah di manapun kita berada. Allah Maha Melihat dan Ia berfirman “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hujurat: 18)
Belajar sebelum ujian, sehingga paham kepada materi yang akan diujikan. Andaipun menemui kesulitan, hendaknya belajar bersama teman yang lebih paham. Ini juga berkaitan dengan pandai-pandai memilih teman yang jujur dan pekerja keras, bukannya bergaul dengan teman-teman yang suka mencontek dan malas.
Kata Rasul saw kita, teman itu ada dua, penjual parfum atau pandai besi. Kalau berteman dengan penjual parfum boleh jadi kita dapat parfum gratis atau kalau tidak kita dapat mencium aroma wangi dalam pekerjaannya. Sedangkan berteman dengan pandai besi boleh jadi kita terbakar akibat percikan api dari pekerjaannya. Bukan hanya itu, kita pula juga turut menikmati bau busuk dari pekerjaanya. Nah, pilih yang mana?
Selalu berdoa kepada Allah Swt. Imam Syafi’i berkata bahwa apakah engkau meremehkan suatu doa kepada Allah, padahal engkau tak tahu apa yang doa lakukan untukmu?
Menumbuhkembangkan rasa percaya diri kepada pribadi agar bisa mengerjakan soal-soal ujian. Sejalan dengan itu, maka budaya malu juga mesti dilestarikan untuk tidak mencontek. Maka dengan ini pula kita juga harus membarengi dengan prinsip “saya tidak akan pernah mencontek lagi”.
Menyadari bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kerja keras dan pada saat memetik buah dari kerja keras tersebut walaupun nanti buahnya memiliki rasa yang kecut yang tak sesuai dengan harapan kita. Itu lebih baik daripada kita bangga dengan nilai palsu yang kita dapatkan dengan proses mencontek.
Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di manapun ia dibelanjakan. Hendaknya, hal ini perlu ditanamkan pada diri pribadi agar menjadi manusia yang benar-benar memiliki manfaat yang banyak. Kita sebenarnya bukan mencari juara satu dalam kelas, namun yang kita cari ialah menjadi yang terbaik agar bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Kalau orang memiliki visi untuk juara agar mengalahkan yang lain berarti nanti ada yang kalah dan menyakiti yang terkalahkan.
Namun ketika orang memiliki visi menjadi yang terbaik agar memberikan manfaat kepada banyak orang maka hal ini perlu kita jadikan pandangan hidup. Semua bisa didapatkan dengan cara jujur kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain. Banyak orang yang cerdas dan pintarnya tak diragukan, namun begitu sedikit di antara mereka yang jujur. Semisal pemerintah kita semua elemennya jujur, maka kasus korupsi tidak akan pernah kita dengarkan.
Oleh karena itu, mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan agar menjadi yang terbaik dan bermanfaat bagi semua. Kebahagiaan tak mesti selalu dengan hasil nilai A dalam ujian. Namun, kebahagiaan yang sejati ialah ketika kita menikmati proses kejujuran untuk mendapatkan hasil, apapun nilainya setidaknya nilai ples di Mata Allah. Ingat mencontek itu tidak salah, yang salah adalah menyontek - guru bahasa indonesia. Tetap semangat selamanya
Sumber : Islampos qq Murdani Tulqadri - Universitas Negeri Makassar
3 comments:
kalau nyontek saya jarang mas kalau ujian, palingan juga man bawa buku masuk ke kelas saat ujian dan itupun tak ernah saya buka, cuma di bawa saja hahahahha
begitulah fitrah manusia dengan kondisi apapun pasti ada dua sisi mensukuri nikmatnya,atau mengeluhkannya, kalau ngga gituh mah namanya bukan manusia atuh...;o)
soal mencontek...mau gimana lagi, dari pada ngga lulus lulus malah jadi siswa abadi dong...tapi kalau dokter mah jangan nyontek lah....kesian pasiennya.
kalau kata guru saya dulu ujian yang sebenarnya dalah ujian harian, karena yang mengoreksi langsung dari gurunya, kalau ujian semester / ujian UN kan yang ngoreksi komputer, masalahnya kalau komputer yang salah tetap salah yang benar bisa salah, selain itu guru saya dulu kalau UN malah di biarkan nyontek, kasihan kalau sampai g lulus mas, selain itu juga kembali lagi ke atas ujiannya di koreksi komputer, jadi sekali pun siswa dengan siswa yang lain jawabannya sama, hasilnya belum tentu sama.
Post a Comment